Jumat, 21 Februari 2014

Menguak Rahasia Di Balik Rekayasa Literasi


            Pada chapter review buku kali ini, saya akan membahas mengenai begaimana keadaan literasi di Negara kita ini, Negara Indonesia. Melalui teks yang berjudul “Rekayasa Literasi” yang ditulis oleh penulis sastra yang sudah tidak asing lagi di dunia sastra bahasa yaitu A.Chaedar Alwasilah. Beliau mengemukakan bahwa tingkat literasi di Indonesia masih sangat minim. Disini segala sesuatunya akan kita bahas, dari mulai bagaimana kita mengetahui cara para ahli mengelompokkan periodisasi menggunakan metode dan pendekatan, khususnya terhadap pengajaran bahasa asing kedalam beberapa kelompok, sampai dengan bagaimana kita belajar mengenai paradigm pengajaran literasi.
Sebelum beranjak ke pokok pembahasan tentang define literasi, pertama kita akan membahas bagaimana para ahli bahasa mengelompokkan periodisasi pengguna metode dan pendekatan, khususnya pengajaran bahasa asing, dan disini A.Chaedar Alwasilah membagi kedalam 5 kelompok besar, yaitu:
1.      Pendekatan structural dengan grammar translation methods, dimana pendekatan ini memfokuskan pengajarannya kepada bidang tulisan dan tata bahasa, walaupun cara ini mungkin kurang tepat karena (maha)siswa tidak menganalisis masalah social.
2.      Pendekatan audiolingual atau dengar ucap, dimana pendekatan ini lebih difokuskan melalui latihan dialog-dialog, tapi dalam pendekatan ini budaya baca-tulis malah terabaikan.
3.      Pendekatan kognitif dan transformative, dimana pendekatan ini dibangun pada teori-teori syntactic dan pendekatan ini lebih ditekankan kepada pengolahan bahasa. Dimana (maha)siswa dapat berbahasa dilingkungan sosialnya.
4.      Pendekatan communicative competence, diamana pendekatan ini lebih difokuskan kepada bagaimana (maha)siswa dapat berkomunikasi, baik itu dengan bahasa yang terbatas atau bahasa yang spontan dan alami. Bahasa bukan hanya dengan sekedar untuk berkomunikasi, tetapi bagaimana caranya kita mampu bernalar, dimana kita seharusnya mampu berkomunikasi dengan bernalar melalui social, politik dan ekonomi.
5.      Pendekatan literasi, dimana pendekatan ini memfokuskan bagaimana caranya (maha)siswa mampu menunjukkan hasil wacana. Pembelajaran dilakukan melalui empat tahahapan, yaitu: 1. Membangun pengetahuan, 2. Menyusun model-model teks, 3. Menyusun teks bareng-bareng, dan 4. Menciptakan teks sendiri.
Setelah mengetahui pendekatan-pendekatan belajar bahasa asing, mari kita beranjak ke tahap yang selanjutnya, yaitu yang terpenting adalah bagaimana definisi literasi itu sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa literasi itu dianggap hanya sekedar masalah psikologi saja, kita tidak menyadari bahwa ihwal literasi ituakan sangat berhubungan dengan maslah ekonomi, social dan politik. “padahal literasi adalah praktek kultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik” (kutip). Selain itu terdapat empat model literasi, yaitu sebagai berikut: 1. Memahami kode dalam teks, 2. Terlibat dalam memaknai teks, 3. Menggunakan teks secara fungsional, dan 4. Melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis. Keempat peran penting literasi ini dapat diringkas kedalam liam verba : memahami, melibat, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Itulah hakikat makna nyata berliterasi secara kritis dlam masyarakat demokratis. Jadi literasi adalah kemampuan seseorang dalam baca-tulis, serta bagaimana seseorang bisa berkomunikasi dengan nalar social, ekonomi, dan politik.
Ditinjau dari beberapa pemahaman saya diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa makna dan rujukan literasi terus berkembang dan berevolusi dan kini mulai meluas.
Literasi tidak akan putus hubungannya dengan penggunaan bahasa, dan kini litrerasi sudah menjadi kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling berkaitan, yaitu:
1)      Dimensi geografis (local, nasional, regional, dan internasional), diplomat, misalnya, lebih sering ditantang untuk memiliki literasi internasional daripada Bupati.
2)      Dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara). Dimensi ini memperlihatkan bahwa literasi seseorang bisa dilihat dari kegiatannya dalam membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Setiap sarjana pasti bisa membaca, tapi tidak semua sarjana mampu menulis. Untuk menjadi seorang sarjana, tidak cukup mengandalkan literasi, tapi harus juga memiliki numerisasi (keterampilan menghitung) atau juga 3R yaitu reading, writing, and arithmetic.
3)      Dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri).
4)      Dimensi media (teks, cetak, visual, digital). Untuk menjadi literat, tidak cukup menguasai baca-tulis saja tapi pengetahuan IT (Information Technology) sangat penting, sehingga kini kehebatan universitas antara lain diukur lewat webometrics, yaitu sejauh mana universitas tersebut diperbincangkan di dunia maya.
5)      Dimensi jumlah (satu, dua, beberapa). Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
6)      Dimensi bahasa (etnis, local, nasional, regional, internasional) ada literasi yang singular dan adapun yang literacy plural. Sebagai mahasiswa kita harus menjadi orang yang multingual, dimana ketika anda memang mampu berliterat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tetapi anda tidak mampu berliterat dalam basis bahasa ibu, maka anda  bukanlah orang yang multilingual melainkan anda orang yang payah!
Selain enam definisi diatas ada 10 gagasan kunci mengenai literasi yang menunjukan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.
ü  Ketertiban lembaga-lembaga social.
Setiap lembaga itu menjalankan perannya dengan bahasa, sehingga muncullah bahas birokrat atau bahasa politik yang menunjukan kekuasan birokrat terhadap rakyat.
ü  Tingkat kefasihan relative.
Setiap interaksi memerlukan kefasihan berbahasa dan literasi yang berbeda.
ü  Pengembangan potensi diri dan pengetahuan.
Kemampuan berliterasi yaitu dimana seseorang dapat mengekspresikan potensi diri serta kemampuan memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan. Menulis akademik adalah bagian dari literasi yang harus dikuasai oleh (calon) sarjana. Itulah akademik literasi.
ü  Standard dunia.
Dalam persaingan global sekarang ini rujuk mutu dikembangkan ke tingkat internasional, agar tingkat literasi suatu bangsa mudah dibandingkan dengan bangsa lainnya.
ü  Warga Negara demokratis.
Media adalah salah satu pilar demokrasi. Dengan kata lain, pendidikan literasi harus mendukung terciptanya demokratisasi bangsa.
ü  Keragaman local.
Disini kita akan membahas bahwa manusia yang berliterat itu adalah orang yang menghargai budaya dan keragaman bahasa. Dan mereka mengembangkan literasi dalam konteks lokalnya, sebellum memasuki konteks nasional, regional, dan global.
ü  Hubungan global.
Literasi tingkat ini bergantung pada dua hal, yaitu penguasaan teknologi informasi dan penguasaan konsep atau pengetahuan yang tinggi.
ü  Kewarganegaraan yang efektif.
Warga Negara yang efektif mengetahui hak dan kewajibannya (cititenship literary). Selama ini ada hipotesis yang mengatakan bahwa perbedaan bahasa berarti deficit bahasa.
ü  Bahasa Inggris ragam dunia.
Pemahaman dan antisipasi atas ragam bahasa Inggris merupakan bagian dari literasi global.
ü  Kemampuan berpikir kritis.
Berbicara dan menulis adalah tindakan literasi dan merupakan keputusan politik. Dan “manusia adalah mahluk pengguna symbol” (kutip).
ü  Masyarakat semiotic.
Semiotic adalah ilmu tentang tanda. Budaya system tanda. Dalam upaya mengkaji budaya, para ahli menggunakan istilah sintaksis, semantic dan pragmatic.
Selain mengkaji tujuh ranah litrerasi diatas, pendidikan bahasa berbasis literasi seyogyanya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip, sebagai berikut :
A.    Literasi adalah kecakapan hidup (life skill) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
B.     Literasi menakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tulis maupun secara lisan. Bagaimana seharusnya pendidikan bahasa sejak dini membiasakan siswa berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan.
C.     Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah. Pendidikan bahasa juga melatih siswa berpikir kritis. Bahasa adalah alat berpikir. Karena itu, ada orang menyarankan agar 3R dirubah menjadi 4R: reading, writing, arithmetic dan reasoning.
D.    Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. Berbaca-tulis selalu ada dalam system budaya (kepercayaan, sikap, cara dan tujuan budaya).
E.     Literasi adalah kegiatan refleksi (diri). Pendidikan bahasa seharusnya menanamkan pada diri (maha)siswa kebiasaan melakukan refleksi atas bahasa sendiri maupun bahasa orang lain, yakni kesadaran terhadap metakomunikasi.
F.      Literasi adalah hasil kolaborasi. Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua belah pihak yang berkomunikasi.
G.    Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi. Penulis menginterpretasikan alam semesta dan pengalaman subjektifnya lewat kata-kata, sedangkan pembaca memaknai inerpretasi penulis.
Setelah kita mengetahui banyak mengenai literasi itu sendiri, seharusnya kita dapat segera menerapkannya didalam kehidupan kita, terlebih untuk membawa nama baik Negara Indonesia ini ke kancah dunia. Seperti yang sudah kita ketahui dalam wacana “Rapor Merah Literasi Anak Negeri” yang ditulis oleh A.Chaedar Alwasilah, bahwa kondisi literasi anak bangsa ini sangatlah memprihatinkan.
Seperti temuan-temuan beliau dari PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) pada tahun 2006, yakni prestasi membaca pada kelas IV Indonesia yang bersaing dengan siswa dari Negara peserta lainnya.
Dalam penelitian ini tujuan membaca meliputi literacy purposes dan international purposes. Sedangkan proses membaca interpreting, integrating, dan evaluating. Berikut adalah temuan-temuannya literacy siswa Indonesia. Skor prestasi membaca di Indonesia adalah 407 (untuk semua siswa), 417 untuk perempuan dan 398 untuk laki-laki. Angka-angka ini berada di bawah rata-rata nilai Negara lain. Atau dalam kategori Negara berdasarkan perbandingan skor membaca literacy purposes (LP) dan informational purposes (IP). Negara yang prestasi membaca LP lebih rendah daripada IP adalah Indonesia, malahan Negara kita ini menyandang gelar paling tinggi untuk kategori ini. Selain itu, di Indonesia hanya tercatat 2% siswa yang prestasi membacanya masuk ke dalam kategori sangat tinggi, 19% masuk ke dalam kategori menengah, dan 55% masuk ke dalam kategori rendah. Ini artinya, 45% siswa Indonesia tidak dapat mencapai skor 400.
Literasi diukur juga dengan index of home educational resources (HER). Dimana setiap rumah memiki banyak sekali sumber ilmu, seperti buku-buku dan computer, serta tidak menutup kemungkinan background pendidikan orang tua mempengaruhi tingginya literasi dalam keluarga. Di Indonesia masuk ke dalam ketegori posisi yang paling bawah, yakni 1% ketegori high, 62% medium, dan 37% low dalam ketegori ukuran HER.
Pendidikan literasi adalah investasi jangka panjang yang berfungsi transformative, untuk meningkatkan HID dan menjamin kehidupan social ekonomi yang lebih baik. Dengan kata lain, “pendidikan literasi pasti mengubah pendapat dan pendapatan”. (kutip). Namun dapat diprediksi bahwa prestasi menulis sangatlah bergantung pada kemampuan membaca. Tanpa kegiatan membaca, orang akan kesulitan untuk menulis.
Ujung tombak pendidikan literasi adalah guru, tapi membangun literasi bangsa harus diawali dengan membangun guru yang professional dan guru professional hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang professional juga.
Beranjak ke pembahasan selanjutnya, yaitu “implementasi”. Rekayasa literasi adalah upaya yang sengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Kern (2000:38) menyebut tiga dimensi, yaitu dimensi linguistik, sosiokultural, dan kognitif / metakognitif. Dengan demikian, rekayasa literasi berarti merekayasapengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi diatas, dan menggunakannya secara serempak, aktif dan terintegrasi.
Kegiatan literasi selalu serentak melibatkan keempat dimensi (bahasa, konitif, social, dan perkembangan). Literasi tidaklah sesederhana hanya sekedar menguasai alphabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi dengan symbol tulisannya, tapi symbol itu difungsikan secara bernalar dalam konteks social. Tindak pendidikan sangat mempengaruhi tingkat literasi seseorang. Artinya, bahwa seorang literat itu tidak sekedar berbaca-tulis. Tapi juga terdidik dan mengenal sastra.
Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mempu berbaca-tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukan apresiasi terhadap sastra. Dalam garis besarnya, ada tiga paradigma pembelajaran literasi, yaitu decoding, skill, dan whole language (Kucer:200).
v  Paradigma 1. : decoding, menyatakan bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi dan belajar bahasa dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahasa. Dalam paradigma ini berlaku rumus :
Perkembangan literasi =  belajar ihwal literasi kemudian   belajar literasi dan dilanjut dengan belajar melalui literasi.
v  Paradigma  2. : keterampilan, bahwa penguasaan morfem dan kosa kata adalah dasar untuk membaca. Dalam paradigma ini berlaku rumus :
Pengembangan literasi = belajar ihwal literasi kemudian   belajar literasi
Dan dilanjut dengan   belajar melalui literasi.
v  Paradigma 3. : bahasa secara utuh, dilihat dari namanya paradigma ini menolak pembelajaran yang meletakan focus kepada bagian atau serpihan bahasa. Belajar literasi berlangsung seperti bayi belajar bahasa ujaran dari sekitar, yakni berlangsung secara induktif. Paradigma ini menolak urutan rumus paradigma #1 dan 2, karena paradigma ini mengajukan rumus sebagai berikut : perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi
kemudian  belajar literasi dan dilanjut dengan belajar ihwal literasi.
Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang (baca:pengajaran literasi) yang penting berekspresi tulis. Kesalahan ejaan, tata bahasa, dan kosakata dapat dibenahi sambil jalan .
Bila rapor literasi anak bangsa ini merah seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, apa yang salah dengan system pendidikan dan pengajaran literasi di negeri ini? Apa karena metode dan teknik pengajaran literasi selama ini kurang mencerdaskan? Bisa jadi. Tapi walau bagaimanapun jangan menyalahkan guru bahasa, karena seyogyanya literasi juga akan dibangun pula dimensi social dan politik.

Jadi kesimpulannya adalah menurut beberapa dimensi literasi itu tidak sesederhana hanya sekedar kemampuan seseorang dalam baca-tulis, tetapi juga bagaimana seseorang bisa memecahkan suatu masalah atau juga kemampuan seseorang yang mampu bernalar social ekonomi dan politik. Mengenai rapor merah yang diperoleh negeri ini mengenai tingkat literasi. Ini adalah tugas semua orang. Bagaimana kita mengubah paradigma yang ada menjadi lebih baik lagi. Walaupun kita meyakini adanya kesalahan metode dan teknik dalam pengajaran literasi, kita tidak boleh langsung menyalahkan guru bahasa, karena seyogyanya literasi tumbuh dalam dimensi social dan politik. Diperlukan kesadaran dari berbagai pihak, bahwa literasi akan tumbuh pada masyarakat yang berpendidikan tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar